twitter


Dicuplik dari Buku Menjadi Muslim Kaffah (Mâ Lâ Yasa’ Al-Muslim Jahluhu) karangan Prof. Dr. Abdullah Al-Mushlih dan Prof. Dr. Shalah Ash-Shawi dengan sedikit perubahan.

Imam Nawawi berkata, “Ghibah adalah menyebut sesuatu yang tidak disuai seseorang ketika orang tersebut tidak ada. Sedangkan buhtan (dalam hadits dengan redaksi bahatta) adalah mengucapkan perkataan bathil (dusta) di depan orangnya. Kedua hal tersebut hukumnya adalah haram. Akan tetapi pada saat-saat tertentu, ghibah diperbolehkan jika ada kepentingan syar’i, yaitu karena enam sebab;

Pertama, karena terzhalimi. Orang yang terzhalimi boleh mangadukan oranag yang mezhaliminya kepada hakim. Atau selain mereka asalkan memiliki kekuasaan dan bisa berlaku adil terhadap orang yang menzhalimi. Dalam pengaduan tersebut orang yang terzhalimi boleh berkata, ‘si Fulan telah menzhalimiku,’ atau, ‘Ia telah berlaku demikian kepadaku.’

Dalil yang  menerangkan diperbolehkannya ghibah ketika ada kezhaliman adalah firman Allah ta’ala, “Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang, kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nisa’ [4]:148)

Orang yang terzhalimi boleh mendoakan kejelekan atas orang yang menzhaliminya dan boleh mengadukannya kepada hakim, tapi tidak boleh berdusta. Tetapi dalam pengaduan itu tak boleh ada dusta. Meski hal ini diperbolehkan, memaafkan adalah lebih utama dan lebih dekat dengan takwa.

Kedua, meminta tolong untuk merubah kemunkaran dan meluruskan orang yang berbuat maksiat. Orang yang mengetahui kemunkaran seseorang, boleh berkata kepada orang yang dianggap memiliki kemampuan (untuk mengubah kemunkaran), ‘si Fulan melakukan begini, cegahlah ia!’

Dari ‘Aisyah ra., ia berkata, “Ada seorang lelaki meminta izin untuk menemui Rasulullah saw. Beliau pun berkata, ‘Izinkanlah ia. Ia adalah seburuk-buruk orang dari kabilah ini.’ Ketika ia masuk, Rasulullah berbicara dengan lembut padanya. Aku bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulallah, sebelumnya engkau mengucapkan perkataan itu kemudian engkau melembutkan perkataanmu?’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Duhai ‘Aisyah, sesungguhnya sejelek-jelek manusia adalah yang dijauhi orang lain karena mereka takut akan kejahatannya’.” (HR. Bukhari)

Sebagian ulama mengatakan bahwa lelaki yang dimaksud dalam hadits di atas adalah Uyainah bin Hishn Al-Fazari. Ketika itu ia belum masuk Islam, meski ia menampakkan keislamannya. Rasulullah mengatakan demikian karena beliau ingin memberi penjelasan kepada para sahabat tentang kondisi orang itu sebenarnya, dengan harapan orang lain mengetahuinya. Dan orang-orang yang tidak mengetahui, tidak sampai tertipu olehnya.
Ketiga, meminta fatwa. Seseorang boleh mengatakan kepada orang yang dimintai fatwa, ‘si Fulan, atau ayahku, atau saudaraku, atau suamiku telah menzhalimiku dengan melakukan demikian dan demikian. Apakah ia boleh melakukannya? Apa jalan keluar yang harus saya tempuh untuk terlepas dari kezhaliman mereka? Dan bagaimana caranya membela diri?’ ucapan-ucapan semisal itu diperbolehkan karena memang diperlukan. Namun akan lebih baik jika bertanya dengan ungkapan, ‘Apa pendapat Anda tentang seorang lelaki, atau suami, atau orangtua, atau seorang anak yang mengerjakan demikian?’ Walaupun pada dasarnya bertanya dengan menunjuk langsung nama orang (dalam hal ini) diperbolehkan berdasar hadits Hindun.

Dari ‘Aisyah ra. bahwasanya Hindun binti ‘Utbah berkata, “Wahai Rasulallah, Abu Sufyan adalah orang yang kikir. Ia tak mencukupi kebutuhanku dan anakku, kecuali jika aku mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya.” Rasulullah saw. menanggapi, “Ambilah harta yang dapat mencukupi kebutuhanmu dan anakmu dengan ma’ruf (cara yang baik).” (HR. Bukhari)

Kalimat yang menjadi dalil penguat bahwa berbuat ghibah dalam meminta fatwa diperbolehkan adalah perkataan Hindun, ‘Abu Sufyan adalah orang yang kikir (yang memang ada pada diri Abu Sufyan).’ Ia mengatakan itu di hadapan Rasulullah saw., dan Rasulullah saw. tidak melarangnya.

Keempat, Mengingatkan kaum muslimin dari kejelekan. Seperti:

(1). Melakukan koreksi terhadap perawi, saksi, dan penulis (yakni dengan menyebutkan kekurangan dengan secara objektif dan proporsional. Bukan karena kebencian yang membabi buta). Hal ini berdasarkan ‘ijma, bahkan diwajibkan dalam rangka menjaga syari’at.

(2). Memberitahukan aib seseorang ketika memusyawarahkan sesuatu untuk menjalin hubungan dengannya. Karena dikhawatirkan jika kekurangan itu tidak diketahui malah akan membuat hubungan yang dijalin menjadi tidak barakah.

(3). Mengingatkan seseorang yang membeli barng cacat atau budak yang suka mencuri, berzina, atau pecandu khamr, dan semisalnya. Anda menyebutkan kepada pembeli tersebut jika ia belum mengetahuinya, dalam rangka memberikan nasihat.

(4). Jika Anda melihat seorang pencari ilmu seringkali datang kepada orang fasik (pelaku maksiat) atau mubtadi’ (pelaku bid’ah) untuk menimba ilmu darinya, hendaknya Anda menasihatinya jika dikhawatirkan akan menimbulkan dampak negatif pada dirinya, dengan niat untuk menasihati.

(5). Jika seseorang memiliki kekuasaan, tetapi ia tidak melaksanakan tugas itu dengan baik karena memang dia bukan ahlinya atau karena ia fasik, maka boleh menyebutkan perihal orang tersebut pada orang yang memiliki kuasa atas orang tadi (atasan atau bos misalnya).

Hal di atas berdasarkan pada sabda Rasulullah saw., “Agama adalah nasihat.” Kami (para sahabat) bertanya, “Untuk siapa wahai Rasulallah?” Rasulullah saw. menjawab, “Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan kamu muslimin pada umumnya.” (HR. Muslim)

Kelima, Jika ada seseorang melakukan kefasikan atau bid’ah secara terang-terangan. Menyebutkan kejelekan yang dilakukan secara terang-terangan diperbolehkan, namun tidak boleh menyebutkan kejelekannya yang lain, yang tidak dilakukan secara terang-terangan, kecuali memang ada sebab lain yang mengharuskan. Seperti alasan keempat.

Hal ini berdasarkan firman Allah swt, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali-‘Imran [3]:104)

Setidaknya orang yang diajak berbicara adalah orang yang juga tahu tentang kejelekan orang itu. Jadi tujuannya bukan untuk memberi tahu orang yang samasekali belum tahu perihal kemunkaran orang tersebut.

Keenam, untuk mengenalkan dan membedakan. Jika seseorang dikenal dengan sebutan tertentu, misalnya; A’masy (yang kabur penglihatannya), A’raj (si kaki pincang), Azraq (si juling biru), Al-Qashir (si pendek), Al-A’ma (si buta), Al-Aqtha (si buntung), dan gelar lain yang semisal, maka diperbolehkan mengenalkan orang dengan sebutan tersebut.

Jadi misalnya ada pertanyaan, ‘apakah orang yang kulitnya hitam itu bernama A?’ atau ‘si B adalah orang yang paling tinggi di antara sahabatnya’, maka hal itu bukanlah ghibah, karena bertujuan membedakan ataupun mengenalkan.

Rasulullah saw. sendiri pernah melakukan hal yang serupa yang haditsnya diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Ia berkata, “Suatu hari Rasulullah shalat Zhuhur (dalam riwayat Imam Muslim ‘Ashar) dua rakaat bersama kami, lalu salam. Kemudian beliau berdiri di samping papan kayu yang terletak di depan masjid, sembari meletakkan tangannya di atas kayu tersebut. Pada saat itu Abu Bakar dan ‘Umar juga hadir, mereka berdua tidak berani mengatakannya kepada beliau. Maka manusia keluar dan berkata, ‘shalat telah diqashar.’ Di antara mereka ada seorang lelaki yang biasa dipanggil oleh Rasulullah dengan Dzulyadain (pemilik dua tangan, dipanggil demikian karena tangannya panjang). Bertanyalah ia kepada Nabi, ‘Wahai Nabi Allah, engkau lupa atau sengaja mengqashar shalat?’ Rasulullah menjawab, ‘aku tidak lupa dan tidak pula mengqashar shalat.’ Para sahabat berkata, ‘akan tetapi Anda lupa, wahai Rasulallah.’ Rasulullah bersabda, ‘(jika begitu) Dzulyadain berkata benar.’ Kemudian beliau berdiri untuk mengerjakan shalat dua rakaat, lantas beliau salam, lalu sujud syahwi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hal yang tidak diperbolehkan adalah, menunjukkan dengan maksud mencela, atau menyifati dengan tujuan menunjukkan kekurangan orang lain. Maka ketika ‘Aisyah menyifati seorang wanita yang mendatanginya bahwa wanita tersebut pendek, Rasulullah segera menegurnya. Beliau menjelaskan bahwa hal itu ghibah. Karena yang dimaksud ‘Aisyah adalah memberi kabar tentang sifat-sifatnya, bukan dalam rangka membedakan dengan orang lain.

* * *

NB: Artikel ini bukan bertujuan memberi kelonggaran kita dalam bergunjing ria. Tetapi sebaliknya, ini bertujuan agar umat muslim tahu batasan-batasan ghibah. Jika suatu larangan sudah diketahui batasnya, maka pengambilan keputusan yang masih abu-abu pun semakin mudah. Jika kita sudah mengetahui hal tersebut di atas, jangan coba-coba untuk sengaja melanggarnya. Karena Allah Maha Melihat, Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui. [thalib19]