twitter


PERHATIAN! Bukan gambar sebenarnya, hanya sekedar ilustrasi
Malam itu, setelah lelah berjalan kaki di kegelapan Kota Surabaya, akhirnya aku mendapatkan kesempatan duduk di kursi empuk taksi. Hampir satu jam aku menyusuri beberapa kilo jalanan Kota Surabaya dengan ibu tercinta.

Selama di jalan, aku terus memandangi argo yang berganti angka setiap beberapa menit. Jalan yang dilewati oleh taksi itu sama sekali tak kukenal. Jadinya sekalian saja kunikmati perjalanan itu, walaupun tubuhku sudah sangat lelah.

Aku kembali teringat beberapa menit yang lalu ketika kami terlunta, tiada kendaraan untuk pulang ke Madiun. Padahal malam itu adalah permulaan bulan mulia, di mana para jamaah masjid sudah melaksanakan shalat tarawih berjamaah. Sedangkan kami masih di perantauan dengan nasib yang belum jelas.

Sempat kutengadahkan doa kepada Yang Maha Kuasa. Kemudian kami mencoba berpindah tempat mencari peruntungan yang lain. Sebuah SMS masuk, sebuah doa dari seseorang nun jauh di sana untuk kami. Aku memang memberitahukan kepadanya tentang keadaan kami. Dan, “Subhanallah!” sebuah taksi datang. Kami langsung naik.

Alhamdulillah.

Taksi berwarna biru muda yang kami tumpangi melaju tenang di tengah padatnya arus lalu lintas Kota Surabaya. Pekatnya malam membuat kelap-kelip lampu kota menyala terang. Sekitar dua puluh menit berjalan, kami telah sampai di Terminal Bungur Asih.

Seusai melaksanakan shalat Isya’ yang tertunda, kami langsung menuju ke tempat bus antar kota. Setelah yakin dengan pilihan busnya, tanpa banyak menunggu kami menaiki salah satu bus tujuan akhir Yogyakarta. Kami naik lewat pintu depan. Sesaat setelah masuk ke dalam, mataku menangkap dua sosok orang yang tadi pagi sempat kubicarakan.

***
Kembali ke beberapa jam yang lalu, ketika aku masih dalam perjalanan berangkat menuju Surabaya. Dari terminal Purbaya Madiun, aku bertemu dengan salah seorang kawan yang juga punya tujuan sama. Dalam perjalanan panjang itu, kami membicarakan banyak hal. Mulai dari masalah pendidikan, sampai dengan hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan diri kami.

Sempat aku menyampaikan seseuatu hal yang mengganjal di hati. Benar-benar mengganjal, sehingga hal itu membentuk suatu harapan yang tulus dari dalam hatiku. Bukan hal yang penting sebenarnya.
“Dang,” begitu aku memanggil kawanku itu. “Kok gak ada bule naik bus ya?”

Pertanyaan itu merupakan ungkapan keherananku pada bule yang ada di Indonesia. Mereka tak pernah kulihat naik bus, entah bus kota ataupun bus untuk perjalanan jauh. Karena waktu naik kereta aku pernah melihat beberapa orang bule, sedangkan di bus sama sekali belum pernah. Sekedar lelucon sebenarnya, tetapi beberapa jam nanti ternyata aku mendapatkan pelajaran dari lelucon itu. Seperti halnya aku yang menganggap ini sebuah lelucon, kawanku menjawabnya dengan lelucon pula.

“Kalau bule biasanya naik kereta eksekutif.” Jawabnya ringkas. Kemudian ia bercerita beberapa hal yang berhubungan dengan kereta, tak kurekam secara penuh memori itu.

***
Dua orang, laki-laki dan perempuan. Berambut keriting dengan bentuk muka bersudut, lonjong, jauh dari paras Asia, berkulit putih. Bule. Merekalah yang kulihat pertama kali saat masuk ke dalam bus. Setelah mendapatkan tempat duduk, aku bergegas mengabari kawanku tentang kejadian yang barusan terjadi via SMS. Rupanya dia juga tak mengaggapnya hal serius. Tak lama setelah itu, aku larut dalam tidur panjang di samping ibu yang terlihat lelah. Suasana ramai bus tak membuat kami terbangun selama di perjalanan.

***
Saat motor hitam yang kami tumpangi melaju di kesepian Kota Madiun, aku tersadar akan sesuatu hal. “Subhanallah.” Ucapan itulah yang keluar dari bibirku. Hal yang luar biasa baru saja terjadi.

Mungkin karena pekatnya kotoran yang menutup hatiku, sampai-sampai kejadian luar biasa itu tak bisa kusadari secara langsung. Perkara bule adalah perkara yang sepele. Sangat sepele malahan. Yang membuatnya tak sepele adalah pembicaraanku dengan seorang kawan tentang hal itu sebelumnya. Jika ada yang bilang itu adalah hal biasa, aku bisa lumrah. Banyak kejadian yang kebetulan seperti itu di dunia. Tetapi karena ini kualami sendiri, aku jadi berpikiran beda.

Saat kita berkata dalam hati tentang suatu keinginan yang menyesak dan itu ikhlas, saat itu juga kita sedang memanjatkan doa yang benar-benar tulus dari dalam hati. Murni tanpa campuran apapun, sehingga mustajab doanya. Walaupun dalam kasus ini yang kuminta hanya sekedar bertemu bule, sangat mudah bagi Allah untuk mengabulkan doa yang benar-benar tulus dari dalam hati. Sekali lagi, walaupun itu hal yang sangat sepele sekalipun. Jika hal yang sepele saja dikabulkan, bagaimana jika keinginan itu berkenaan dengan perjuangan untuk menegakkan panji-panji Islam? [gea]

0 comments:

Post a Comment