twitter



Tahun ajaran baru dimulai. Berbagai instansi pendidikan mengawali kembali jurnal kerjanya. Bagi sebagian siswa, inilah masa orientasi untuk menentukan masa depan. Mereka adalah para bibit baru, yang baru saja mencicipi atmosfer pendidikan di jenjang yang lebih tinggi.

Khususnya bagi jenjang pendidikan menengah, saat awal seperti inilah waktu yang pas untuk menyampaikan prolog dari perjalanan panjang mereka selama beberapa tahun ke depan. MOS tidaklah cukup untuk menggenapkan prolog tersebut. MOS sebenarnya adalah sarana adaptasi bagi siswa baru. Jadi materi-materi yang ada di dalamnya hanyalah untuk sarana penunjang. Materi itupun adalah materi yang masih sangat dasar. Butuh orientasi-orientasi berikutnya yang diharapkan mampu menjaga semangat siswa baru untuk menjalani aktivitasnya.

Kebutuhan Organisasi

Beragam kegiatan (organisasi dan ekstrakurikuler) tersedia di sekolah. Mulai dari kegiatan kerohanian, sosial, sampai yang berhubungan dengan alam, semuanya tersedia. Bagi siswa baru, tentunya saat-saat seperti ini adalah waktu yang pas untuk mengeksplorasi bakat dan minat mereka. Oleh karena itulah keragaman kegiatan ini menjadi hal yang wajib bagi sekolah yang ingin siswanya aktif dan berkembang.
Kegiatan itulah yang menjadi orientasi bagi siswa setelah mereka menjalani pembelajaran secara efektif. Dengan sedikit memberikan ruang bagi siswa untuk berorganisasi dan berkreasi, dampak yang dihasilkan akan sangat luar biasa bagi perkembangan siswa.

Itu dikarenakan, kegiatan-kegiatan tersebut sangat banyak manfaatnya. Bisa dimulai dari masalah kemandirian. Siswa yang banyak menghabiskan waktu di meja belajar jelas kalah saing dibandingkan siswa yang setiap harinya dipertemukan dengan permasalahan pelik organisasi. Mereka yang belajar dari organisasi mungkin akan kehilangan banyak waktu belajar, tetapi kompetensi mereka di bidang itu belum tentu kalah oleh mereka yang setiap hari berkutat dengan buku-buku.

Siswa yang sudah terbiasa berorganisasi, akan mampu untuk mengatur jadwal mereka. Itu dikarenakan tempaan yang diterima ketika mereka berorganisasi menuntut mereka untuk bersikap dewasa. Memang mungkin awalnya bagi yang belum terbiasa berorganisasi akan keteteran dalam banyak hal. Tetapi disanalah titik pembelajarannya. Masalah yang sering mereka terima akan membuat kedewasaan mereka terasah. Otak akan mampu merekam setiap kejadian yang bagi mereka adalah titik balik suatu permasalahan. Dengan begitu, ketika mereka dihadapkan dalam kondisi fokus ke mata pelajaran, mereka akan cepat beradaptasi.
Sedangkan mereka yang hanya menitik beratkan fokus pada pelajaran, akan terpecah konsentrasi jika berhadapan dengan masalah pelik yang bisa datang sewaktu-waktu. Masalah yang mungkin sering muncul adalah masalah dengan teman sepermainan. Mereka akan sulit sekali memecahkan masalah dan cenderung untuk menyimpan masalah itu. Jika sudah begini, kebutuhan sosial mereka akan sulit terpenuhi. Apalagi jika tekanan dari orangtua, guru, dan pihak instansi datang. Mereka hanya akan bisa menggigit jari dan bertanya pada buku-buku mereka yang diam membisu.

Partisipasi Sekolah

Tentu sebagai lembaga yang menjadi wadah bagi siswa untuk menuntut ilmu, sekolah telah menyediakan lapangan kegiatan bagi siswa semisal ekstrakurikuler. Banyak sekali ekstrakurikuler yang bisa diikuti oleh siswa. Bahkan terkadang, ada sekolah yang mewajibkan satu anak mengikuti satu ekskul. Sebenarnya program ini sangat bagus untuk dilaksanakan. Namun ada hal yang perlu dipertimbangkan lagi, adalah sistem pengelelolaan ekstrakurikuler tersebut. Sayangnya, dari sekian banyak sekolah yang mewajibkan kegiatan ekstrakurikuler, masih banyak yang tak mengidahkan sistem pengelolaan ini.

Banyak sekolah memberlakukan kewajiban ekstrakurikuler, tetapi mereka melupakan kontrol terhadap siswa mereka yang hanya titip absen saja. Titip absen di sini bukanlah titip absen dalam arti sebenarnya dimana mereka membolos dari kegiatan. Lebih parah lagi, mereka titip absen dalam arti ikut kegiatan tetapi hanya ikut-ikutan. Tidak bisa mengambil manfaat dari kegiatan itu sendiri. Jika sudah begini, masalah keefektifan perlu dipertanyakan lagi.
Banyak iming-iming hukuman yang dilayangkan sebagai ancaman bagi yang tidak hadir dalam kegiatan sekolah. Tetapi nyatanya, hukuman itu hanya dijadikan sebagai wacana. Mereka lebih menuruti kata orangtua siswa yang tak bermental mendidik, agar anaknya tidak ditindak tegas akan kelalaian mereka. Ya, setidaknya ada peringatan secara khusus, tetapi sampai saat ini tidak ada tindakan sama sekali.

Jika tujuan sekolah itu mendidik, mereka seharusnya tak hanya menyediakan lahan untuk berorganisasi, tetapi juga mengontrol berlangsungnya kegiatan tersebut. Banyak pembina yang menyerahkan urusan itu kepada pengurus-pengurus ekskul yang juga masih berstatus sebagai siswa. Padahal di sini jelas, tugas siswa adalah untuk melaksanakan, bukan mengontrol.

Namun ketika siswanya bekerja tanpa kontrol, selalu ada saja alasan bagi para pembina untuk menyalahkan keputusan atau pekerjaan mereka. Ada yang salah, kurang ini, kurang itu, bisanya hanya menyalahkan tanpa memberi solusi. Ambil contoh saja kegiatan Sie Kerohanian Islam. Kita tahu bahwa pengajaran akan akhlak dan kepribadian adalah suatu kewajiban. Sedangkan dalam kasus ini, SKI adalah wadah bagi siswa untuk memantabkan akhlak dan kepribadian mereka. Namun masih banyak juga sekolah yang seolah-olah menghambat kegiatan ekstra yang satu ini.

“Ekstrimis, fanatik, sesat!” Mungkin itulah kata-kata yang sering dilontarkan oleh pihak sekolah. Mereka terlalu awal untuk menyimpulkan seperti itu. Akhirnya banyak siswa yang beranggapan kalau yang namanya SKI ekstrim, fanatik, dan sesat. Jadi, sebenarnya yang mencitrakan SKI seperti itu kan mereka sendiri.

Wajar jika dari sekolah timbul kekhawatiran akan hal-hal di atas. Memang seharusnya pihak lembaga menjaga anak didiknya jangan sampai terjerumus ke dalam hal-hal yang seperti itu. Namun jika tindakannya tanpa strategi seperti itu, sama saja mundur sebelum melangkah. Ini ibaratnya seseorang yang tidak mau membuka kado yang diberikan oleh orang lain, hanya karena kecurigaan semata. Padahal isi kado tersebut adalah sebatang emas yang mungkin sangat berguna bagi kehidupan orang tersebut.

Inilah sikap yang sangat tidak mendidik dari pihak sekolah. Saking hati-hati dan curiganya, mereka sampai kehilangan sesuatu yang sangat berharga setelah itu tersedia di depan mata.

Lembaga kan seharusnya mampu mengkomunikasikan tentang kekhawatirannya itu dengan pihak siswa. Mereka juga seharusnya memberikan pengetahuan kepada siswa, bagaimanakah ekstrim itu, bagaimana juga fanatik dan sesat itu. Itulah hal yang seharusnya dilakukan oleh pihak lembaga sekolah. Bukannya langsung over-protective dengan mengorbankan hak siswa atas kebutuhan rohani mereka.

Pun jika pihak sekolah telah mengizinkan kegiatan tersebut, mereka juga tak boleh melepas penjagaan mereka. Apabila nanti ada hal yang tidak diinginkan, lagi-lagi siswanya yang disalahkan. Padahal itu adalah salah sekolah yang kurang antisipatif. Kasus-kasus itu tak hanya terjadi di kegiatan rohani. Banyak organisasi dan ekstrakurikuler yang diperlakukan seperti itu.

Kesimpulannya, organisasi adalah kebutuhan setiap siswa. Mereka berhak untuk mendapatkan dukungan dari pihak sekolah akan kebutuhan itu. Selain itu, untuk menjaga kreatifitas dan aktifitas siswa tetap berjalan dengan lancar, sekolah harus memberikan wadah yang cukup dan menuruti apa mau siswa selama itu masih dalam lingkup yang dibenarkan. Walau telah menuruti apa mau siswa, sekolah juga tidak serta merta lari dari tanggung jawabnya. Tugas mereka adalah mengontrol kegiatan siswa berjalan lancar. Tidak terlalu menekan, tetapi tidak pula terlalu melepaskan. [gea]

0 comments:

Post a Comment